Minggu, 10 Januari 2016

PRAKTIK AUDIT FORENSIK PADA PROYEK PEMBANGUNAN FISIK (AIRIN NOVI ARYATI – B200120347)



PRAKTIK AUDIT FORENSIK PADA PROYEK PEMBANGUNAN FISIK

PAPER




 






AIRIN NOVI ARYATI
B 200 120 347
D



FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016


LATAR BELAKANG
Kecurangan yang terjadi di sektor pemerintahan sudah mencapai tingkat yang memprihatinkan. Berita tentang kasus-kasus fraud yang melibatkan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, baik dijajaran lembaga legislatif, eksekutif bahkan yudikatif. Berbagai usaha telah dilakukan Pemerintah Indonesia baik dengan memberdayakan secara maksimal lembaga-lembaga penegak hukum, seperti Kejaksaan, Pengadilan, dan Kepolisian. Pemerintah juga telah membentuk dan memberdayakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Audit harus dilakukan untuk mendeteksi kecurangan. Kecurangan yang tidak dapat terdeteksi oleh suatu pengauditan dapat memberikan efek yang merugikan dan cacat bagi proses pelaporan keuangan. Kecurangan berakibat serius dan membawa dampak kerugian karena menyangkut citra akuntan publik terutama auditornya. Kecurangan yang dilakukan oknum-oknum pemerintah sulit terdeteksi karena pelaku merupakan orang-orang yang dipercaya untuk menjalankan suatu proyek. Auditor laporan keuangan harus mempunyai keahlian untuk mendeteksi kecurangan sedangkan untuk pengungkapannya diserahkan pada auditor forensik yang lebih berwenang. Audit forensik akan menggunakan suatu aplikasi audit lain selain audit biasa yang digunakan para auditor laporan keuangan untuk mengungkapkan kecurangan.
Di Indonesia kasus akuntansi forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor privat. Kasus yang berhubungan dengan akuntansi forensik akan berurusan dengan kerugian, baik di sektor publik maupun di sektor privat. Di sektor publik tindakan melawan hukum atau kecurangan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara dan keuangan negara. Di sektor privat, tindakan melanggar hukum atau kecurangan menimbulkan kerugian karena terjadi cidera janji dalam suatu perikatan. Kasus-kasus yang berhubungan dengan kecurangan/tindakan melawan hukum adalah korupsi, asset misappropriation, dan kecurangan laporan keuangan (fraudulent financial statement).
Peran audit forensik dalam mengungkapkan kecurangan di Indonesia dari waktu ke waktu semakin terus meningkat. Jumansyah dkk (2011), Akuntansi Forensik dapat membantu para penegak hukum untuk melakukan perhitungan dan pengungkapan kos kecurangan, meskipun di Indonesia masih terdapat banyak kendala, karena kecurangan seringkali dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) sehingga sulit untuk memulai darimana akan diungkap. Akuntansi forensik dapat mendeteksi penyebab terjadinya kecurangan. Audit forensik banyak diterapkan ketika Komisi Pemberantasan Korupsi mengumpulkan bukti-bukti hukum yang diperlukan untuk menangani kasus-kasus korupsi yang dilaporkan kepada instansi tersebut. Audit forensik juga digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Kepolisian, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Inspektorat Jenderal Kementrian untuk menggali informasi selama proses pelaksanaan audit kecurangan (fraud audit) atau audit investigasi. Paper ini akan memaparkan salah satu contoh praktik audit forensik pada proyek pembangunan fisik di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
a.         Pengertian Audit Forensik
Audit forensik terdiri dari dua kata yaitu audit dan forensik. Audit adalah tindakan untuk membandingkan kesesuaian antara kondisi dan kriteria. Sementara forensik adalah segala hal yang bisa diperdebatkan di muka hukum/pengadilan. Dengan demikian, audit forensik bisa didefinisikan sebagai tindakan menganalisa dan membandingkan antara kondisi di lapangan dengan kriteria, untuk menghasilkan informasi atau bukti kuantitatif yang bisa digunakan di muka pengadilan.
Menurut Charteji (2009), audit forensik (forensic auditing) dapat didefinisikan sebagai aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Audit forensik umumnya digunakan untuk melakukan pekerjaan investigasi secara luas. Pekerjaan tersebut meliputi suatu investigasi atas urusan keuangan suatu entitas dan sering dihubungkan dengan investigasi terhadap tindak kecurangan (fraud), oleh karena itu audit forensik sering juga diartikan sebagai audit investigasi. Di indonesia lembaga yang berhak untuk melakukan audit forensik adalah auditor BPK, BPKP, dan KPK yang memiliki sertifikat Certified Fraud Examiners (CFE).
b.        Tugas Auditor Forensik
Auditor forensik bertugas memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation). Disamping tugas auditor forensik untuk memberikan pendapat hukum dalam pengadilan (litigation), ada juga peran auditor forensik dalam bidang hukum di luar pengadilan (non pengadilan), misalnya dalam membantu merumuskan alternatif penyelesaian perkara dalam sengketa, perumusan perhitungan ganti rugi dan upaya menghitung dampak pemutusan / pelanggaran kontrak.
Audit forensik dibagi ke dalam dua bagian : jasa penyelidikan (investigative services) dan jasa litigasi (litigation services). Jenis layanan pertama mengarahkan pemeriksa penipuan atau auditor penipuan, yang mana mereka menguasai pengetahuan tentang akuntansi mendeteksi, mencegah dan mengendalikan penipuan. Jenis layanan kedua mempresentasikan kesaksian dari seorang pemeriksa penipuan dan jasa-jasa audit forensik yang ditawarkan untuk memecahkan isu-isu valuasi, seperti yang dialami dalam kasus perceraian. Tim audit harus menjalani pelatihan dan diberitahu tentang pentingnya prosedur audit forensik di dalam praktek audit dan kebutuhan akan adanya spesialis forensik untuk membantu memecahkan masalah.
c.         Profesi Akuntan Forensik
Akuntan Forensik Akuntan forensik digunakan di sektor publik maupun privat, akan tetapi penggunaan akuntan forensik di sektor publik lebih menonjol dibandingkan di sektor privat. Hal tersebut disebabkan karena penyelesaian sengketa di sektor privat cenderung diselesaikan di luar pengadilan. Akuntan forensik memiliki ciri-ciri yang sama dengan akuntan dan auditor, yaitu harus tunduk pada kode etik profesinya. Sikap independen, objektif dan skeptis juga harus dimiliki oleh akuntan forensik (Howard, 2007).
Tuanokota (2005) kualitas yang harus dimiliki oleh akuntan forensik adalah :
1.         Kreatif : kemampuan untuk melihat sesuatu yang orang lain menganggap situasi bisnis normal dan mempertimbangkan interpretasi lain, yakni bahwa itu tidak perlu merupakan situasi bisnis yang normal.
2.         Rasa ingin tahu : keinginan untuk menemukan apa yang sesungguhnya terjadi dalam rangkaian peristiwa dan situasi.
3.         Tidak menyerah : kemampuan untuk maju terus pantang mundur walaupun fakta (seolah-olah) tidak mendukung, dan ketika dokumen ayau informasi sulit diperoleh.
4.         Akal sehat : kemampuan untuk mempertahankan perspektif dunia nyata. Ada yang menyebutnya perspektif anak jalanan yng mengerti betul kerasnya kehidupan.
5.         Business sense : kemampuan untuk memahami bagaimana bisnis sesungguhnya berjalan, dan bukan sekedar memahami bagaimaa transaksi dicatat.
6.         Percaya diri : kemampuan untuk mempercayai diri dan temuan kita sehingga kita dapat bertahan di bawah cross examination (pertanyaan silang dari jaksa penuntut umum dan pembela). Akuntan forensik sering disebut juga sebagai auditor forensik atau auditor investigasi. Di Indonesia terlihat peran-peran akuntan forensik, seperti BPKP, BPK, dan aparat pengawasan internal pemerintah menghitung kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi.
d.        Peran BPK dalam Audit Forensik
Perkembangan positif dalam pemberantasan korupsi di Indonesia membuat Badan Pemeriksa Keuangan yang selama era orde baru “dikerdilkan” menjadi pulih, dengan terbitnya Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara yang menegaskan tentang kewenangan BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara yang kemudian di dukung dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2006 yang memberikan kemandirian dalam pemeriksaan Keuangan Negara baik yang tidak dipisahkan maupun yang dipisahkan seperti BUMN dan BUMD sekaligus penentu jumlah kerugian Negara.
Oleh karena itu BPK harus mendefinisikan dirinya untuk menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, dengan cara meningkatkan metodologi auditnya dan meningkatnya kinerja pegawainya dalam melakukan pemeriksaan keuangan negara termasuk didalamnya keahlian tehnis dalam mendeteksi fraud yaitu mempunyai kemampuan mengumpulkan fakta-fakta dari berbagai saksi secara fair, tidak memihak, sahih, akurat serta mampu melaporkan fakta secara lengkap.
Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik atau sebagian orang menyebutnya Audit Investigatif. Sebenarnya BPK sebagai Pemeriksa Keuangan Negara memiliki prestasi yang layak diapresiasi dalam melakukan audit forensik, dengan melakukan audit investigasi terhadap Penyaluran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia maupun aliran Dana Bank Indonesia ke sejumlah pejabat, dengan bantuan software khusus audit.  
e.         Pelaksanaan Audit Forensik
Proses pelaksanaan audit forensik, dalam banyak hal, sama dengan proses pelaksanaan audit, tetapi dengan tambahan beberapa pertimbangan. Berikut adalah langkah-langkah audit forensik secara umum dan singkat.
Langkah I : Menerima tugas
Auditor forensik pertama kali harus mempertimbangkan apakah dirinya memiliki keahlian dan pengalaman yang dibutuhkan untuk menerima pekerjaan tersebut. Investigasi forensik bersifat khusus, dan pekerjaan tersebut memerlukan pengetahuan tentang investigasi fraud dan pengetahuan tentang hukum secara luas dan mendalam. Para auditor juga harus memperoleh pelatihan di dalam melakukan teknik-teknik interviu dan interogasi, dan bagaimana menyimpan bukti-bukti yang diperoleh secara aman. Auditor sebaiknya tidak memberikan jasa audit umum dan investigasi forensik atas klien yang sama. 
Langkah II : Perencanaan
Tim auditor harus berhati-hati dalam merencanakan pekerjaan audit forensik. Peencanaan pekerjaan audit ini paling tidak harus mencakup hal-hal berikut :
-          Mengidentifikasi jenis fraud yang terjadi, seberapa lama fraud telah berlangsung, dan bagaimana fraud telah dilakukan, siapa pelakunya dna juga termasuk mengkuantifikasi kerugian finansial yang diderita oleh klien dan mengumpulkan bukti yang akan digunakan di pengadilan.
-          Meberi saran untuk pencegahan terulangnya fraud.
-          Mempertimbangkan cara terbaik mendapatkan bukti.
-          Menggunakan teknik audit berbantuan komputer, bila diperlukan.
Langkah III : Mengumpulkan Bukti
Dalam rangka mengumpulkan bukti yang lengkap, auditor (investigator) harus memahami jenis fraud dan bagaimana kecurangan tersebut telah dilakukan. Bukti-bukti yang dikumpulkan harus memadai untuk membuktikan identitas pelakunya, mekanisme pelaksanaan fraud, dan jumlah kerugian finansial yang diderita. Hal penting yang harus dipikirkan adalah bahwa tim auditor memilki keahlian di dalam mengumpulkan bukti yang akan digunakan dalam kasus persidangan, dan menjaga rantai pengamanan bukti-bukti hingga dikemukakan dalam persidangan. Jika ada bukti yang belum dapat disimpulkan atau ada kejanggalan dalam rantai prosesnya, maka bukti tersebut mungkin akan dimentahkan dalam persidangan, atau bahkan bisa menjadi bukti yang melemahkan. Auditor juga harus diperingatkan bahwa kemungkinan bukti-bukti akan diselewengkan (falsified), dirusak atau dihancurkan oleh tersangka.
Bukti dapat dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik, seperti :
-          Menguji pengendalian guna mendapatkan bukti adanya kelemahan (kemungkinan adanya kecurangan)
-          Menggunakan prosedur analistis (analytical procedures) untuk membandingkan tren dari waktu ke waktu atau untuk memberikan gambaran tentang perbandingan antara satu segmen bisnis dengan segmen bisnis lainnya dengan menggunakan teknik-teknik audit berbantuan komputer.
Langkah IV : Penyusunan Laporan
Pada tahap akhir, auditor melakukan penyusunan laporan hasil audit forensik. Dalam laporan ini setidaknya ada 3 poin yang harus diungkapkan. Poin-poin tersebut antara lain adalah :
-          Kondisi, yaitu kondisi yang benar-benar terjadi di lapangan
-          Kriteria, yaitu standar yang menjadi patokan dalam pelaksanaan kegiatan. Oleh karena itu, jika kondisi tidak sesuai dengan kriteria maka hal tersebut disebut sebagai temuan.
-          Simpulan, yaitu berisi kesimpulan atas audit yang telah dilakukan. Biasanya mencakup sebab fraud, kondisi fraud, serta penjelasan detail mengenai fraud tersebut.
f.         Peran Penting Audit Forensik
Dalam beberapa artikel dan literatur, pembahasan audit forensik lebih kepada kasus pembuktian penyimpangan keuangan atau korupsi. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan, audit forensik diperlukan untuk pembuktian pada kasus-kasus penipuan.
Objek audit forensik adalah informasi keuangan yang mana mungkin (diduga) mengandung unsur penyimpangan. Penyimpangan yang dimaksud bisa berupa tindakan merugikan keuangan perusahaan, seseorang, atau bahkan negara. Temuan audit dari hasil pemeriksaan ini bisa dijadikan salah satu alat bukti bagi penyidik, pengacara, atau jaksa untuk memutuskan suatu kasus hukum perdata. Tidak menutup kemungkinan hasil audit juga akan memberikan bukti baru untuk tindakan yang menyangkut hukum pidana, seperti penipuan.
g.        Tujuan Audit Forensik
Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan (fraud). Penggunaan auditor untuk melaksanakan audit forensik telah tumbuh pesat. Beberapa contoh dimana audit forensik bisa dilaksanakan termasuk :
-          Kecurangan dalam bisnis atau karyawan.
-          Investigasi kriminal.
-          Perselisihan pemegang saham dan persekutuan.
-          Kerugian ekonomi dari suatu bisnis.
h.        Perbedaan Audit Forensik dan Audit Konvensional
Perbedaan utama Audit Forensik dengan Audit maupun audit konvensional lebih terletak pada mindset (kerangka pikir). Metodologi kedua jenis Audit tersebut tidak jauh berbeda. Audit forensik lebih menekankan pada keanehan (exception, oddities, irregularitas) dan pola tindakan (pattern of conduct) daripada kesalahan dan keteledoran seperti pada audit umum.
Prosedur utama dalam Audit forensik menekankan pada analytical review dan teknik wawancara mendalam (in depth interview) walaupun seringkali masih juga menggunkana teknik audit umum seperti pengecekan fisik, rekonsiliasi, konfirmasi dan lain sebagainya. Audit forensik biasanya fokus pada area-area tertentu (misalnya penjualan, atau pengeluaran tertentu) yang ditengarai telah terjadi tindak kecurangan baik dari laporan pihak dalam suatu atau orang ketiga (tip off) atau ptunjuk terjadinya kecurangan (red flags) petunjuk lainnya.
Data menunjukkan bahwa sebagian besar tindak kecurangan terbongkar karena tip off dan ketidaksengajaan. Agar dapat membongkar terjadinya fraud (kecurangan) maka seorang akuntan forensik harus mempunyai pengetahuan dasar audit dan audit yang kuat, pengenalan perilaku manusia dan organisasi (human dan organization behaviour), pengetahuan tentang aspek yang mendorong terjadinya kecurangan (incentive, pressure, attitudes, rationalization, opportunities) pengetahuan tentang hukum dan peraturan (standar bukti keuangan dan bukti hukum), pengetahuan tentang kriminologi dan viktimologi (profiling) pemahaman terhadap pengendalian internal, dan kemampuan berpikir seperti pencuri (think as a theft).
i.          Alasan Diperlukannya Audit Forensik
Mencoba menguak adanya tindak pidana korupsi dengan audit biasa (general audit atau opinion audit) sama halnya mencoba mengikat kuda dengan benang jahit. BPK perlu alat yang lebih dalam dan handal dalam membongkar indikasi adanya korupsi atau tindak penyelewengan lainnya di dalam Pemerintahan ataupun dalam BUMN dan BUMD salah satu metodologi audit yang handal adalah metodologi yang dikenal sebagai Akuntansi Forensik ataupun Audit Forensik.
Audit forensik dahulu digunakan untuk keperluan pembagian warisan atau mengungkap motif pembunuhan. Bermula dari penerapan akuntansi dalam persoalan hukum, maka istilah yang dipakai adalah akuntansi (dan bukan audit) forensik. Perkembangan sampai dengan saat ini pun kadar akuntansi masih kelihatan, misalnya dalam perhitungan ganti rugi baik dalam pengertian sengketa maupun kerugian akibat kasus korupsi atau secara sederhana forensik menangani fraud khususnya dalam pengertian corruption dan missaprociation of asset.

CONTOH PENERAPAN AUDIT FORENSIK PADA PEMBANGUNAN FISIK DI HAMBALANG
Pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang, Sentul, Bogor, Jawa Barat, menuai kontroversial. Dalam audit BPK, ditulis bahwa proyek bernilai Rp 1,2 triliun ini berawal saat Direktorat Jenderal Olahraga Departemen Pendidikan Nasional hendak membangun Pusat Pendidikan Pelatihan Olahraga Tingkat Nasional (National Training Camp Sport Center).
Pada tahun 2004 dibentuklah tim verifikasi yang bertugas mencari lahan yang representatif untuk menggolkan rencana tersebut. Hasil tim verifikasi ini menjadi bahan Rapim Ditjen Olahraga Depdiknas untuk memilih lokasi yang dianggap paling cocok bagi pembangunan pusat olahraga tersebut. Tim verifikasi mensurvei lima lokasi yang dinilai layak untuk membangun pusat olahraga itu. Yakni di Karawang, Hambalang, Cariu, Cibinong, dan Cikarang. Tim akhirnya memberikan penilaian tertinggi pada lokasi desa Hambalang, Citereup, Bogor. Tim melihat, lahan di Hambalang itu sudah memenuhi kriteria penilaian tersebut diatas. Sehingga lokasi tersebut dipilih untuk dibangun.
Menindaklanjuti pemilihan Hambalang, Dirjen Olahraga Depdiknas langsung mengajukan permohonan penetapan lokasi Diklat Olahraga Pelajar Nasional kepada Bupati Bogor. Bupati Bogor menyetujui dengan mengeluarkan Keputusan Bupati Bogor nomor 591/244/Kpes/Huk/2004 tanggal 19 Juli 2004. Sambil menunggu izin penetapan lokasi dari Bupati Bogor tersebut, pada 14 Mei 2004, Dirjen Olahraga telah menunjuk pihak ketiga yaitu PT LKJ untuk melaksanakan pematangan lahan dan pembuatan sertifikat tanah dengan kontrak No.364/KTR/P3oP/2004 dengan jangka waktu pelaksanaan sampai dengan 9 November 2004 senilai Rp 4.359.521.320.
Namun, ternyata lokasi Hambalang itu masuk zona kerentanan gerakan tanah menengah tinggi sesuai dengan peta rawan bencana yang diterbitkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementrian ESDM. Sesuai dengan sifat batuannya, PVMBG menyarankan untuk tidak mendirikan bangunan di lokasi tersebut karena memiliki risiko bawaan yang tinggi bagi terjadinya bencana alam berupa gerakan tanah.
Selain itu, status tanah di lokasi dimaksud masih belum jelas, meskipun telah dikuasai sejak pelepasan/pengoperan hak garapan dari para penggarap kepada Ditjen Olahraga setelah realisasi pembayaran uang kerohiman kepada para penggarap sesuai Berita Acara Serah terima Pelepasan/Pengoperan Hak Garapan tertanggal 19 September 2004.
Sejak itulah area tanah tersebut diakui sebagai aset Ditjen Olahraga dan Kemudian pada tanggal 18 Oktober 2005 diserahterimakan kepada organisasi baru yaitu Kementrian Negara Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) setalah Ditjen Olahraga berubah menjadi Kemenpora. Menpora saat itu, Adhyaksa Dault mengakui bahwa untuk membangun pusat olahraga pihaknya mengajukan anggaran sebesar Rp 125 miliar. Karena proyek tersebut awalnya bukan untuk pembangunan pusat olahraga, melainkan hanya pembangunan sekolha olahraga. “Rekomendasi awalnya, di sana hanya untuk bengun sekolah olahraga dua lantai dan saya tidak tahu bagaimana ceritanya berubah menjadi sport center.” Kata Adhyaksa sat berbincang dengan VIVAnews.
Nilai proyek ini kemudian melejit hingga Rp 2,5 triliun sat Kemenpora dipimpin oleh Menteri Andi Mallarangeng. Hal tersebut terungkap dalam audit dalam audit Hambalang, bahwa pada tanggal 8 Februari 2010 dalam Raker antara Kemenpora dengan Komisi X, Menpora menyampaikan rencana Lanjutan pembangunan tahap I P3SON di Bukit Hambalang Rp 625.000.000.000. permintaan itu diajukan karena dalam DIPA Kemenpora TA 2010 baru tersedia Rp 125 miliar. Menpora Andi Mallarangeng juga menyampaikan bahwa usulan tersebut merupakan bagian rencana pembangunan P3SON Bukit Hambalang Sentul yang secara keseluruhan memerlukan dana sebesar Rp 2,5 triliun.
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo menyebut total kerugian negara akibat Proyek Hambalang sebesar Rp 463,67 miliar. Hal itu disampaikan dalam paparan laporan hasil audit Hambalang Jilid II di ruang pimpinan DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (23/8).
Pelanggaran tersebut terletak pada beberapa tahapan. Pertama, proses pengurusan hak atas tanah. Kedua, proses pengurusan izin pembangunan. Ketiga, proses pelelangan. Keempat, proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Kelima, pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan keenam, pembayaran dan aliran dana yang diikuti rekayasa akuntansi.
Terkait proses persetujuan RKA-KL dan persetujuan Kontrak Tahun Jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:56/PMK.02/2010 yang diganti dengan PMK Nomor: 194/PMK.02/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Pesetujuan Kontrak Tahun Jamak Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang diduga mengalami penurunan makna substantif dalam proses persetujuan Kontrak Tahun Jamak. Hal ini dapat melegalisasi penyimpangan semacam kasus hambalang untuk tahun-tahun berikutnya.
Hasil Audit Forensik Pembangunan Fisik Hambalang
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Purnomo memaparkan sejumlah hasil audit terhadap kasus Hambalang ke DPR. Menurutnya laporan audit investigasi kasus Hambalang dilakukan dua tahap. Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kasus Hambalang tahap I dilakukan pada 30 Oktober 2012.
Hasilnya telah disampaikan ke DPR. Dalam LHP tahap I, BPK menyimpulkan ada indikasi penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan atau penyalahgunaan wewenang dalam proses persetujuan tahun jamak, proses pelelangan, proses pelaksanaan konstruksi, dan dalam proses pencarian uang muka yang dilakukan pihak terkait dalam pembangunan Hambalang yang mengakibatkan timbulnya indikasi kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 263,66 miliar.
Dalam LHP tahap II, terang Hadi, BPK menyimpulkan terdapat indikasi penyimpangan dan/atau penyalahgunaan wewenang yang mengandung penyimpangan yang dilakukan pihak-pihak terkait dalam pembangunan proyek hambalang. Penyimpangan wewenang itu terjadi pada proses pengurusan hak atas tanah, proses izin pembangunan, proses pelelangan, proses persetujuan RAK K/L  dan persetujuan tahun jamak, pelaksanaan pekerjaan konstruksi, pembayaran, dan aliran dana yang diikuti dengan rekayasa akuntansi dalam proyek Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON), Hambalang. Dalam LHP tahap II ini BPK kembali menemukan adanya penyimpangan dalam proses pengajuan dna kerugian negara mencapai Rp 471 miliar.
Berikut kesimpulan LHP tahap II BPK soal Hambalang:
-          Permohonan persetujuan kontrak tahun jamak dari Kemenpora kepada Menteri Keuangan atas proyek pembangunan P3SON Hambalang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku, sehingga selayaknya permohonan tersebut tidak dapat disetujui Menteri Keuangan.
-          Pihak-pihak terkait secara bersama-sama diduga telah melakukan rekayasa pelelangan untuk memenangkan rekanan tertentu dalam proses pemilihan rekanan pelaksanaan proyek pembangunan P3SON Hambalang.
-          Pihak Kemenpora selaku pemilik proyek tidak pernah melakukan studi amdal maupun menyusun DELH (Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup) terhadap proyek pembanguna P3SON Hambalang sebagaimana yang diamanatkan UU Lingkungan Hidup. Persyaratan adanya studi amdal terlebih dahulu sebelum mengajukan izin lokasi, site plan, dan IMB kepada Pemkab Bogor tidak pernah dipenuhi oleh Kemenpora.
Terkait dengan persetujuan RAK K/L dan pesetujuan tahun jamak, BPK juga menemukan adanya pencabutan Peraturan Menteri Keuangan No 56/2010 yang diganti dengan Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 tentang Tata Cara Pengajuan Persetujuan Kontrak Tahun Jamak dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Peraturan Menteri Keuangan No 194/2011 patut diduga bertentangan dengan Pasal 14 UU No I/2004. Peraturan tersebut diduga untuk melegalisasi dugaan penyimpangan yang telah terjadi. Pencabutan Permenkeu No 56/2010, mengindikasikan adanya pembenaran atas ketidakbenaran atau penyimpangan atas Pasal 14 UU No 1/2004. Berbagai indikasi penyimpangan yang dimuat dalam LHP tahap I dan II mengakibatkan kerugian sebesar Rp 463,67 miliar yaitu senilai total dana yang telah dikeluarkan oleh negara untuk pembayaran proyek pada 2010 dan 2011 sebesar Rp 471,71 miliar. Dikurangi dengan nilai uang yang masih berada pada KSO AW sebesar Rp 8,03 miliar.
Kesimpulan tersebut didasarkan pada fakta-fakta sebagai berikut. Kemenpora tidak pernah memenuhi persyaratan untuk melakukan studi amdal sebelum mengajukan izin lokasi. Kemudian, setplant dan izin mendirikan bangunan kepada Pemkab Bogor atau menyusun dokumen evaluasi lingkungan hidup mengenai proyek Hambalang.
Permohonan persetujuan tahun jamak dari kemenpora kepada menteri keuangan atas proyek Pembangunan Hambalang, kata hadi, tidak memenuhi persyaratan sebagai mana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku. Sehingga sudah seharusnya permohonan tersebut ditolak.

KESIMPULAN
Audit forensik dapat didefinisikan sebagi aplikasi keahlian mengaudit atas suatu keadaan yang memiliki konsekuensi hukum. Tujuan dari audit forensik adalah mendeteksi atau mencegah berbagai jenis kecurangan. Peran akuntan forensik di indonesia yang masih terbatas dan keberadaannya masih terdapat di pusat menjadi faktor utama korupsi masih dapat berkembang di seluruh Indonesia. Salah satu pendekatan yang bisa diambil dalam upaya pemberantasan korupsi adalah dengan menerapkan Audit Forensik. Audit forensik mampu menekan kasus kriminal yang berkaitan dengan keuangan di Indonesia seperti korupsi, pencucian uang, transaksi ilegal dan sebagainya. Terlebih kasus tersebut sering terjadi di lingkungan pemerintahan sehingga menghambat pemerintah baik pusat maupun daerah untuk mewujudkan pemerintahan yang baik.
Dalam praktik audit forensik pada pembangunan fisik di Hambalang, Audit Forensik dibutuhkan untuk mengungkap kecurangan yang terjadi dalam kasus tersebut. Hal tersebut juga penting untuk pengembangan kasus dugaan korupsi Hambalang yang tengah ramai dibicarakan saat ini. 


DAFTAR PUSTAKA
Anita, Arles Leardo. 2013, Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jurnal.
Effendi, Rovinur Hadid, dkk. 2013, Pengaruh Profesionalisme Akuntan Forensik terhadap Kompetensi Bukti Tindak Pidana Korupsi. Jurnal.
Fajar, Ajat M. Inilah Hasil Audit Tahap II BPK Soal Hambalang. http://nasional.inilah.com. 2013
Fauzan, Isam Ahmad, dkk. 2014. Pengaruh Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi terhadap Pengungkapan Fraud. Prosiding Akuntansi ISSN:2460-6561.
Hoopwood, William S, Jay J. Leiner & George R. Young (2008). Forensic Accounting, MC Graw-Hill Irwin Companies
Lediastuti, Vita, dkk. 2014, Audit Forensik terhadap Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. Jurnal Volume 1 Nomor 1.
Novita, Dyah Ratna Meta. Berikut Hasil Audit BPK Soal Hambalang. http://Republika.co.id. 2013
Tirta, Dwi. Audit Forensik untuk Mendeteksi Risiko Fraud atau Kecurangan. http://mediainformasi.org. 2013
Tuanokota, Theodorus M. 2010. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif edisi 2. Salemba Empat : Jakarta
____________________. 2012. Akuntansi Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat.
Umar Haryono, 2012. Pengawasan Untuk Pemberantasan Korupsi. Jurnal Akuntansi dan Auditing. Volume 8/No. 2/Mei 2012: 95-189. Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan
Wiradmaja, I Dewa Nyoman. 2000, Akuntansi Forensik dalam upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Jurnal.
Wiwied, Akuntansi Forensik dan Peran BPK. http://angkringanmaswied.blogspot.com, 2005
.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar